Senin, 06 Januari 2014

CITA CITAKU SELUAS LUMPUR

CITA CITAKU SELUAS LUMPUR
Pagi ini tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya, aroma yang khas itu masih ada. Aku sebut khas karena aroma itu bak pedang yang menusuk tubuh. Memang aromanya menusuk, menusuk indra penciuman dan jangan bayangkan baunya seperti masakan di hotel-hotel bintang lima. Baunya seperti kentut lebih tepatnya seperti bau belerang. Padahal aku berharap ada perubahan pada pagi ini.

Aku tinggal disini, di sebuah kota yang ramai, sibuk dan tentu saja ada lautan lumpur yang baunya luar biasa. Sebelumnya kotaku tak seperti ini, kotaku luas, tak berlumpur dan penduduknya pun tak mudah naik darah seperti sekarang.

Setiap sore aku bermain layang-layang di tepi tanggul, anginnya cukup kencang, layang-layangku terbang tinggi. Namun kali ini aku tak beruntung, layang-layangku putus dan lenyap seketika ditelan lumpur yang berbuih. Itu tandanya aku harus pulang ke rumah karena senja telah tiba. Sebenarnya rumahku tak jauh dari tempatku bermain layang-layang tadi, tapi lagi-lagi gara-gara ada lumpur lumpur yang semakin meluas maka kami sekeluarga harus pindah.
Cita citaku Seluas Lumpur
Suatu hari bapak terlihat sangat marah, bukan karena aku nakal juga bukan karena bertengkar dengan ibu. Awalnya aku tak tahu apa sebabnya, tapi kata ibu bapak marah karena masalah keadilan. Aku semakin tak mengerti maksud dari perkataan beliau, mungkin karena aku belum cukup umur. Setelah aku keluar rumah tampak dari jauh barisan orang-orang dengan teriakan lantang, berapi-api sama seperti bapak tadi. Aku ingin mendekat ke dalam kerumunan orang-orang itu tapi ibu melarangku serta belum pantas anak seusiaku menonton hal-hal seperti itu. Aku lantas berpikir, apakah keadilan itu dapat menghalangi cita-citaku? Apakah keadilan dapat menghilangkan lumpur dan dapat membuat bapak tak marah-marah?. Ah, entahlah itu masalah orang dewasa.

Hari ini aku mendapatkan pertanyaan yang mengejutkan dari guruku begini pertanyaannya, “Amir, menurutmu cita-cita itu bagaimana?” Aku terdiam sejenak lalu menjawab, “Cita-cita itu bagai pensil, jika kita ingin meraihnya maka kita harus berusaha dan bekerja keras seperti halnya meraut pensil agar menjadi runcing. Namun jika kita tidak bersungguh-sungguh maka kesempatan kita semakin kecil bahkan pupus seperti pensil yang semakin hari semakin pende bahkan hilang.” Tapi yang jadi pertanyaan apakah aku bisa menggapai cita-citaku itu? Aku merasa dihalangi oleh alam karena alam telah mengirimkan lumpur yang membuat sebagian kehidupanku tak tertata. Aku putus asa dan agaknya aku mulai tertular penyakit yang menggerogoti masyarakat kotaku, tentunya penyakit naik darah.

Sore harinya bapak juga bertanya mengenai cita-cita padaku tapi ini pertanyaannya berbeda. Beliau bertanya seberapa tinggikah cita-cita yang aku inginkan, tentu saja aku langsung menjawab, “Tentu saja setinggi langit pak!” Namun beliau malah tertawa, aku heran dengannya padahal kan jawaban itu betul. Bapak lalu berkata, “Mir, bapak beri tahu ya cita-cita setinggi langit itu hanya pepatah yang omong kosong. Kalau untuk anak-anak lumpur sepertimu cocoknya adalah cita-cita itu seluas lumpur.” Aku dibuat bingung dengan omongan bapak, lalu bapak melanjutkan lagi, “Lihat lumpur yang menenggelamkan rumah kita makin hari makin meluas, makin tinggi. Bisa-bisa jadi lautan! Jadi menurut bapak membuat kata-kata penyemangat itu yang sesuai dengan fakta sajalah!” Aku langsung berlari menuju rumah lamaku yang sudah tak tampak karena terendam lumpur. Disini aku merenung, merenungkan perkataan bapak dan akhirnya aku setuju dengan beliau.

Entah sampai kapan lumpur ini akan meluap, entah seluas apa lagi lumpur ini menggenang tetapi aku akan selalu berusaha mengembangkan sayap-sayapku, menunjukkan pada dunia meskipun aku hanya sosok anak lumpur dan aku akan menunjukkan bahwa cita-citaku seluas lumpur.

DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2013/04/cita-citaku-seluas-lumpur-cerpen.html#ixzz2phHy1Av6

SENYUMLAH, SELAMA TAK PERLU PENJEPIT PIPI

SENYUMLAH, SELAMA TAK PERLU PENJEPIT PIPIPagi ini, aku cuma berbaring di ranjangku, mendengar musik dari earphone, dan membiarkan nyamuk-nyamuk berkeliaran menyedot darahku.

Aku mengibaskan air asin yang bocor dari bendungan pelupuk mataku, beberapa kali menimpa tuts keyboard netbookku, kau tahu ? pagi ini aku berhasil membuat rekor 20 status galau per jam, dan sumpah serapah dua meter panjangnya di blog. gila kan !

Ya, segila segala sesuatu yang datang mendadak, lalu menghancurkan kebahagiaanku dalam festival olahraga nasional besok. besok !
"ray !"
Mama mulai lagi ritual ketuk pintu kamar a.k.a cemas padaku. meski malas, aku tak pernah membiarkan wanita lembut itu khawatir berkepanjangan, maka aku pun bangkit, berpaling sebentar dari netbook dan segala macam caci makiku, dan....

Bruk !
Tahukah kau bagaimana rasanya saat tulang ekormu menyentuh ubin dan berbunyi, tuk ! yah..mama langsung menyerbu masuk seperti burung yang di lempar biji jagung, kemudian ia membantu mendudukkan ku dikursi, kursi istimewa untuk orang cacat, kau tahu lah...
"ray, kamu harusnya bilang dong pintunya nggak dikunci, ada yang sakit sayang ?" mama memelukku seperti bayi yang baru saja jatuh dari atas kasur.

Aku lalu melepaskan pelukan mama, " ray enam belas tahun ma..., lagi pula tiga hari terakhir ini rasanya sekujur tubuh ray kaku kayak mayat, jadi biar pun ray jatuh seribu kali, nggak akan membuat ray kesakitan..."

Lagi, aku membuat mama menangis. dihadapannya aku sepertinya kuat, tapi sebenarnya aku karung basah. aku menangis, aku mengeluh dan membawa sumpah serapah pada apapun selain pada mama. pada mama aku tak berani mengeluh, mama sendirian, aku takut ia tak sekuat aku.

Ah, semuanya sejak aku terjun dari lantai tiga sekolahku, tiga hari dimana aku akan mengangkat namaku dan nama sekolahku diajang bulu tangkis nasional tingkat pelajar.

Teman-temanku sesama ekskul bulu tangkis dan teman-teman kelasku, datang kerumahku, bukan untuk memberiku selamat atas terpilihnya aku sebagai perwakilan sekolah diajang itu, tapi untuk memberiku buah-buahan, lalu mengucapkan ' semoga cepat sembuh, tetap semangat ya !' dan mereka pulang dengan sara syukur karena masih diberi kesehatan.

Dan dan saat semuanya begitu suram dalam setiap jengkal utakku, aku bertemu orang aneh yang mulutnya penuh dengan kata-kata penuh cinta, penuh harapan, dan aku mual saat itu.

Yang ku tahu namanya zen, usianya dua puluh tahun, ia seorang motivator dan penulis buku best seller yang mengajak orang semangat hidup bla..bla..bla...aku tak mengerti mengapa ia begitu terkenal, disukai banyak orang ? apa karena ia sempurna punya hidung mancung dan kulit yang putih ? atau karena ia bisa berdiri tegak..?
“berhentilah untuk mencoba membuat ku merasa lebih baik, karena aku takkan lebih baik lagi dari ini !” bentakku padanya suatu kali.

Ia tersenyum, menampakkan lagi wajah malaikat yang sesungguhnya meluluhkan hatiku, “aku nggak pernah mencoba membuatmu lebih baik, bahkan tak juga mencoba membuat orang lain lebih baik, kamu tahu ? aku Cuma bertugas membuat orang tersenyum selama ia tak perlu penjepit pipi..”

Aku tersenyum miris, “kamu pikir ini lucu ?”

Zen diam berpura-pura berfikir, “enggak.”

Sejak itu aku malah lebih sering bersamanya, ia seperti abang yang ada dimana-mana untukku, bahkan nyamuk saja tak pernah muncul saat aku mengharapkannya ?

Sejak aku bertemu abang baruku, aku kembali sekolah meski tak lagi dijuluki bintang bulu tangkis. Tak apalah, zen bilang untuk menjadi bintang aku tak perlu kaki dan tangan yang sempurna, aku cukup punya api yang membara di sini, di dadaku...
“tapi zen, bahkan untuk naik tangga sekolah saja aku merepotkan...”

Dan sejak itu pula aku mulai bisa menerima semuanya dengan lapang dada, aku mulai menyadari seperti yang zen bilang bahwa rayap tak pernah minta di tuntun untuk tahu betapa tanpa sepasang matapun ia bisa membangun sebuah menara.
“tapi zen...tapi zen....tapi zen...” dan semua tapi-tapian itu hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan aku mulai sibuk dengan kegiatan ilmiah disekolah. Aku mulai tak perlu lagi zen bermulut penuh busa untuk menghentikan setiap keluh kesahku.

Suatu kali, saat pulang sekolah zen datang ke rumah ku dan lucunya dia dengan dua penyangga kaki diketiaknya, “hei, zen, apa ini bagian dari semua hal yang kau rencanakan untuk membuat aku senyum tanpa penjepit pipi ?”

Zen tersenyum, “ ini bagian dari hidup...kamu tahu hidup tak pernah berhenti meski sebagian penting darinya tak lagi berfungsi, hem, kamu mengerti..?”

Aku mengangguk lalu tersenyum,”enggak zen, aku nggak ngerti, sekali-kali pake bahasa gaul kek..”
“suatu hari nanti kamu akan mengerti...”.

Ya, sampai dua minggu kemudian dan aku di tugasi Bu mela untuk mengadakan wawancara dengan pasien di rumah sakit blabla. Aku tak pernah mengerti kalimat yang di ucapkan zen saat terakhir kali bertemu denganku, aku tak berusaha mencarinya dan tak juga memohon mohon minta penjelasan kalimatnya itu, tidak ! mungkin dia sibuk, mama bilang ia orang hebat, ia mungkin sibuk !

Sudahlah, jangan-jangan nanti dia tiba-tiba alay dan saat aku memohon-mohon dia malah bilang, ‘mau tahu aja apa mau tahu banget ? kan berabe...

Di rumah sakit blabla, aku nampak benar seperti orang linglung, yah...bingung siapa yang harus ku wawancara, apa aku harus mewawancarai bayi baru lahir dan bertanya, bagaimana rasanya didalam perut ibu ? konyol.

Dan aku putuskan untuk bertanya pada entah siapa, yang duduk dikursi roda dan bertopi pandan yang sedang merenung dijendela besar rumah sakit ini.
“maaf..”aku menyentuh pundaknya perlahan, takut tiba-tiba dia berbalik dan mendorong kursi rodaku kejendela besar sampai kacanya pecah dan aku terbang seperti dulu.

Tidak, ia berbalik dan tidak mendorongku, ia malah membuat ku menjatuhkan papan dada dan pulpen yang ku pegang erat-erat, “kamu ?”
“ceritakan zen, dan mengapa ?! “aku seperti lupa hendak apa aku ke rumah sakit ini, aku tak perlu mewawancarai laki-laki bertopi pandan berkursi roda itu, ia zen !
“kau sudah menemukan jawabannya ray ?”zen lagi lagi tersenyum, ia cukup membuatku terkejut setengah mati.

Tiga hari kemudian aku tak pernah lagi mengharapkan kedatangannya kerumahku seperti biasa, sebenarnya aku takut, tapi aku tak bisa menampakkan betapa aku marah padanya, ia berbohong.

Sepulang sekolah, aku mengunjunginya di kamar blabla no blabla lantai blabla rumah sakit blabla, kau tahu ? sejujurnya aku ingin tertawa melihat kepala zen jadi plontos seperti bakso, tapi sekarang aku ingin menangis.
“zen, apa ini bagian rencana mu membuat aku merasa lebih baik..?” tanpa sadar aku menjatuhkan setetes air yang begitu cepat turun secepat semua kejadian ini.

Zen diam, selang oksigen dihidungnya bergerak sedikit pertanda zen masih mendengar suara ku yang sedikit terisak. Lalu zen berusaha tersenyum dengan susah payah...
“zen, mengapa kau sekuat itu ? kau tak pernah bilang bahwa kau juga sama sakitnya dengan aku...padahal kalau kau bilang, aku pasti akan cepat lebih baik...”

Zen tersenyum lagi, sepertinya bahkan hanya untuk menunjukkan senyum saja ia sulit, tapi aku menyadari tanpa kata-kata dan mulut berbusa, ia telah memberi ku satu kalimat lagi, ‘senyumlah selama kau tak perlu penjepit pipi...’.

Maka, aku mengusap air mataku dan aku bernafas lega, “ terima kasih zen...”.

Kau aneh zen ! kenapa kau begitu bodoh, kau biarkan jasadmu mati tapi kau malah meninggalkan kalimat-kalimat itu disini kau tahu ? kalimat itu takkan pernah hilang dari pikiranku selamanya, kenapa tidak kau bawa saja ? biar suatu saat kau bisa cerita pada semua penghuni syurga ?kau memang abang teraneh yang pernah ku kenal, tapi...

Thanks zen, sekarang aku sudah bisa berdiri tegak...